Sabtu, 24 Maret 2012

UBI JALAR SEBAGAI BAHAN PANGAN MASA DEPAN


Popularitas ubi jalar masih kalah dibanding singkong. Tetapi lebih baik daripada keladi, talas, ganyong dan garut. Sama sebagai tanaman pendatang dari benua Amerika singkong segera mampu merebut hati masyarakat. Di Jawa, produk pangan berbahan baku singkong sudah berjumlah puluhan. Dua yang paling populer adalah kerupuk dan bakso. Selain itu singkong juga diperlukan dalam jumlah banyak untuk industri pakan ternak, gula cair dan asam sitrat. Sebaliknya, selama ini ubi jalar hanya ditanam untuk dikonsumsi segar. Variasi olahannya pun masih sangat terbatas. Misalnya direbus/kukus, dioven dan digoreng. Kue berbahan baku ubi jalar paling populer hanyalah ketimus. Salah satu penyebab kurang populernya ubi jalar adalah karena sulitnya untuk dikeringkan menjadi gaplek atau diambil patinya. Kadar pati ubi jalar sama dengan talas hanya 28 %, jauh di bawah singkong dan keladi yang mencapai 34 %. Tetapi ubi jalar punya kelebihan dibanding singkong, yakni umur panennya yang bisa hanya 3 bulan. Selain itu ubi jalar juga bisa disimpan sampai 5 bulan tanpa menurunkan mutu daging umbinya. Umbi yang telah disimpan malahan akan bertambah manis karena pati yang ada dalam daging umbi tersebut telah terfermentasi menjadi gula. Penyimpanan umbi yang paling aman adalah dengan cara dihamparkan di atas abu dalam ruangan yang gelap total. Gunanya untuk menghindari tumbuhnya tunas.
Budidaya ubi jalar relatif murah. Sama halnya dengan budidaya singkong. Menanan ubi jalar di lahan budidaya, bukan membuka lahan baru, biayanya berkisar antara Rp 1.000.000,- sd. Rp 1.500.000,- Biaya tersebut hanyalah untuk mengolah lahan (membuat guludan), menanam dan menyiang serta membalik tanaman. Tak ada biaya untuk pemupukan dan pestisida. Hasil umbinya hanya sekitar 7,5 sd. 1 ton per hektar, tergantung tingkat kesuburan lahan. Namun, lahan yang sangat subur, misalnya bekas bukaan hutan jati Perum Perhutani  atau areal karet PTPN, selalu ditanami padi ladang atau jagung yang nilai ekonomisnya lebih baik dari ubi jalar. Dengan tingkat harga ubi Rp 300,- per kg. maka pendapatan kotor petani hanya Rp 2.250.000,- sd. Rp 3.000.000,- Namun kalau kita lihat nilai keuntungannya masih cukup tinggi, yakni 100 % dalam jangka waktu hanya sekitar 4 bulan (plus pengolahan lahan). Rendahnya biaya bididaya ubi jalar dan juga singkong, antara lain disebabkan oleh faktor benih yang tidak usah membeli. Selain itu masyarakat juga belum memiliki akses ke pasar ubi jalar komersial. Misalnya ubi jepang, ubi cilembu dll. Meskipun biaya tanam ubi jalar komersial akan membengkak makin tinggi. Biaya tanam ubi jepang misalnya, saat ini berkisar antara Rp 7.500.000,- sd. Rp 10.000.000,- per hektar. Namun hasilnya juga bisa mencapai 20 sd. 25 ton per hektar dengan tingkat harga Rp 800,- per kg. Hingga pendapatan petani akan mencapai antara Rp 16.000.000,- sd. Rp 20.000.000,- dari tiap hektar lahan dalam jangka waktu 4 bulan. Tingkat keuntungannya masih sekitar 100% dalam jangka waktu tersebut.
Benih ubi jalar memang tidak pernah dibeli oleh para petani. Sebab benih tersebut hanya berupa stek batang yang belum menumbuhkan akar. Paling ideal adalah stek pucuk. Tetapi karena keterbatasan stek pucuk, maka para petani menggunakan pula stek tengah untuk bahan benih. Pada waktu demam bertanam ubi jepang marak di tahun 1997 - 1999, benih ubi jenis ini laku keras. Per stek bisa dihargai Rp 12,50. Kalau dalam tiap hektar lahan diperlukan 40.000 stek, maka nilai benih itu sudah akan mencapai Rp 500.000,- sendiri. Padahal para petani tidak tahu, apakah benih tersebut benar-benar merupakan F 1 atau sudah F 5 bahkan lebih.  Padahal, para petani ubi jalar, tampaknya telah mengetahui adanya degradasi benih. Apabila benih diambil dari stek batang tanaman produksi, lama-kelamaan akan terjadi penurunan mutu. Cara petani untuk mengembalikan kualitas benih adalah dengan memilih umbi yang baik, lalu menanamnya. Tanaman yang tumbuh dari umbi inilah yang kemudian dijadikan benih. Benih yang langsung berasal dari umbi disebut sebagai benih F 0. Keturunan berikutnya akan menjadi F 1 dan seterusnya. Tanaman dari benih F 1 inilah yang akan berproduksi paling baik. Selanjutnya benih F 2 sampai dengan F 4, masih akan bisa berproduksi dengan baik, meskipun telah mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas. Karenanya para petani berpatokan, tiap 3 tahun mereka akan menyemai umbi dan memperbarui benih ubi jalar mereka. Dengan cara demikian produksi umbi akan relatif stabil kualitas maupun kuantitasnya. Sebenarnya akan lebih ideal lagi kalau mereka membentuk kelompok, dan kelompok tersebut memiliki "bank benih" berupa induk F 0 penghasil benih-benih F 1. Dengan cara ini maka petani akan selalu menanam ubi jalar dengan benih F 1.
Varietas-varietas ubi jalar baru, rata-rata berumur genjah, yakni sudah bisa dipanen 3 bulan setelah tanam. Varietas lama bisa mencapai umur panen antara 5 sd. 7 bulan. Namun umur panen ubi jalar ini juga sangat tergantung dari lokasi penanaman. Ubi jepang yang ditanam di dataran rendah (0 sd. 200 m dpl.) harus sudah dipanen pada umur 3 bulan. Kalau terlambat panen, umbi akan terserang ulat pengerek (bongkeng). Tetapi di dataran menengah (200 sd. 600 m. dpl.) umbi masih bisa dipertahankan sampai dengan umur 5 bulan baru dipanen. Kalau di dataran rendah hasil umbinya sekitar 20 ton, maka di dataran menengah bisa mencapai 25 ton per hektar. Di dataran tinggi, umbi boleh dipanen pada umur 7 bulan dengan ketuaan penuh dan hasilnya bisa mencapai lebih dari 25 ton per hektar. Namun dari sisi waktu, bertanam di dataran tinggi kurang menguntungkan dibanding dengan di dataran rendah. Sebab peningkatan hasil per satuan hektar per musim tanam tidak sebanding dengan waktu yang terbuang. Kalau di dataran rendah jangka waktu 7 bulan, bisa menanam dua kali dengan hasil paling sedikit 35 ton. Biaya tanam memang juga duakali lipat menjadi Rp 15.000.000,- tetapi hasilnya menjadi Rp 32.000.000,- dengan keuntungan Rp 17.000.000,- Di dataran tinggi, modalnya hanya Rp 7.500.000,- hasilnya sekitar 27 ton hingga pendapatannya Rp 21.600.000,- atau keuntungannya Rp 14.100.000,- Kalau acuannya dari nilai modal yang ditanamkan, maka budidaya di dataran tinggi memang lebih menguntungkan, sebab tingkat keuntungan dibanding modal hampir mencapai 200 %. Tetapi kelau dilihat dari perputaran modalnya, maka budidaya di dataran rendah lebih menguntungkan sebab modal Rp 7.500.000,- tersebut akan bisa diputar 2 kali.
Ubi jalar sebenarnya bukan hanya potensial untuk menghasilkan umbi, sebagai sumber karbohidrat bahan pangan. Tanaman ini juga sangat cocok untuk membasmi gulma, terutama alang-alang. Lahan alang-alang yang dibajak rotary dan kemudian digulud, kalau langsung ditanami ubi jalar, terutama varietas yang berdaun lebar, dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan sudah bisa menutup guludan tersebut. Hingga alang-alang yang sangat rentan naungan akan tidak mau tumbuh. Daun dan rimpang alang-alang yang dicacah oleh bajak rotary bisa dibiarkan di dalam guludan sebagai pupuk organik atau diangkat dan ditutupkan pada guludan sebagai mulsa. Potensi ubi jalar sebagai pembasmi alang-alang dan  gulma lain, masih belum banyak dimanfaatkan oleh para investor perkebunan. Biasanya mereka cenderung memanfaatkan tanaman cover crop yang hasilnya hanya akan menjadi pupuk hijau. Dengan cover crop ubi jalar, hasil umbinya bisa dimakan karyawan perkebunan dan daunnya bisa untuk pakan ternak. Memang ada pertanyaan, kalau lahan yang akan ditutup cover crop itu merupakan calon kebun kelapa sawit yang luasnya mencapai 10.000 hektar, mau dibuang ke mana nantinya ubi jalar yang dihasilkan? Dengan hanya mengandalkan guludan traktor tanpa pupuk sama sekali, dan yang ditanami hanya sela-sela tanaman pokoknya, maka hasil umbi yang akan diperoleh hanya sekitar 5 ton per hektar per 4 bulan atau 50.000 ton ubi jalar segar. Kalau kebun sawit tersebut dikelola oleh 1 kk. per 4 hektar, maka total populasi tenaga kebun akan mencapai 2.500 kk. Kalau dalam satu kk. rata-rata ada 5 jiwa maka populasi tenaga kebun akan mencapai 12.500 jiwa. Ditambah dengan tenaga adm. sopir, keamanan dan pabrik, populasi warga kebun bisa mencapai 15.000 jiwa.
Kalau disimpan dengan baik, ubi jalar segar bisa tahan sampai 5 bulan. Kalau dibuat gaplek bisa disimpan sampai 1 tahun. Dalam kebun seluas 10.000 hektar tersebut, jatah masing-masing jiwa untuk mengkonsumsi ubi jalar hasil kebun adalah 3,3 ton. Kalau dijadikan gaplek maka bobotnya akan susut menjadi 1 ton. Gaplek ubi jalar ini bisa untuk dikonsumsi sendiri, dijual atau untuk pakan ternak. Salah satu kelemahan ubi jalar adalah kandungan patinya yang rendah. Namun tidak semua varietas memiliki kandungan pati rendah. Varietas yang produktifitasnya tinggi, justru memiliki kadar pati yang juga tinggi. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kadar pati ubi jalar hanya 28 % sebenarnya merupakan hasil rata-rata. Hingga beberapa varietas ubi jalar, kadar patinya bisa lebih tinggi dari 30 %. Meskipun untuk mencapai kadar pati menyamai singkong juga tidak mungkin. Sebab kadar pati 34 % pada singkong juga merupakan hasil rata-rata. Hingga singkong kualitas baik kadar patinya bisa lebih tinggi dari 35 %. Namun rendahnya kadar pati yang merupakan kelemahan ubi jalar ini, bisa diimbangi dengan umur panen yang pendek dan fungsi tanamannya sebagai cover crop. Sesuatu yang tidak mungkin didapat dari singkong. Tanaman singkong tidak mungkin bisa berfungsi sebagai tanaman sela pada lahan perkebunan. Sebab komoditas ini sangat rakus hara. Sementara ubi jalar justru sangat efisien dalam memanfaatkan hara, sinar matahari dan air. (R) * * *  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar